makalah konsep negara purbah hingga negara moderend
MAKALAH
KONSEP
NEGARA PURBAH HINGGA NEGARA MODEREN
MATA
KULIAH PENGANTAR ILMU POLITIK
DOSEN
IGNATIUS ADIWIDJAJA,S.Sos., M.Si

DISUSUN
OLEH :
NOVAN
NOVIANTO MARKUS
FAKULTAS
ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PRODI
ILMU ADMINISTRASI NEGARA
UNIVERSITAS
TRIBHUWANA TUNGGADEWI
MALANG
2016
KATA
PENAGANTAR
Puji dan syukur saya naikkan ke hadapan
Tuhan Yang Maha Esa, karena atas izin dan kehendak – Nyalah saya dapat
menyelesaikan makalah ini denagan tepat waktu yang berjudul “KONSEP NEGARA
PURBAH HINGGA NEGARA MODEREN”. Makalah ini disusun agar dapat memenuhi salah
satu tugas mata kuliah dalam Prodi Administrasi Negara, Dan kami mencoba untuk
memaparkan apa yang telah saya ketahui kedalam
makalah ini.
Saya berharap setelah selsainya makalah
ini, bisa bermanfaat bagi semuanya dan dapat beguna bagi proses pembelajaran
dan saya mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun karena makalah
yang saya susun masih sanagt jauh dari kata sempurnah. Suatu karya tak luput
dari kesalahan dan kekuranagan
sehingga kami, lebih dulu memohan maaaf
yang sebesar-besarnya. Karena makalah yang saya buat masih jauh dari
kesempurnaan.
Serta
saya mengucapkan terimakasih, Kepada Bapak Dosen mata kuliah Filsafat
Administrasi. Yang telah mempercayakan makalah ini kepada saya, semoga makalah
ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Malang,
09 November 2016
Penulis
DAFTAR
ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang................................................................1
1.2. Rumusan Masalah...........................................................1
1.3. Tujuan Penulisan.............................................................1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Negara dan Konsep
Negara Kuno/Purbah...................2-4
a.Pemikian dan Gagasan
Socrates....................................4-6
b.Pemikiran
dan Gagasan Plato......................................6-11
c.
Pemikiran dan Gagasan Aristoteles..........................11-18
BAB III
PENUTUPAN
3.1. Kesimpulan....................................................................19
3.2. Saran..............................................................................19
DAFTAR PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Negara sebagai sebuah
konsep dan ilmu begitu dinamis sepertihalnya ilmu-ilmu lain yang terus
mengalami perubahan serta perkembangan. Seiring dengan perkembangan masyarakat,
sebagai sebuah konsep atau ilmu, negara tak pernah terdefinisikan secara
konstan dan pasti. Diantara para ilmuwan, atau bahkan ahli ilmu negara (ahli
tata negara), definisi tentang negara selalu berbeda-beda. Semua bergantung
dari cara pandang masing-masing pemikir (ahli). Ruang dan waktu juga
mempengaruhi pengertian atau terminologi mengenai negara.
1.2.
Rumusan Masalah
·
Konsep/Teori Socrates
·
Konsep/Teori Plato
·
Konsep/Teori Aristoteles
1.3. Tujuan
Penulisan
Tujuan
Penulisan makalah ini adalah, memaparkan Konsep dan Teori parah ahli tentang
Negara dan Konsep perkembangn Negara itu sendiri agar dapat dapat diketahui dsn
pahami oleh pembaca. Llebih khsusnya oleh mahasiswa.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1. Negara dan
Konsep Negara Kuno/Purbah
Negara
sebagai sebuah konsep dan ilmu begitu dinamis sepertihalnya ilmu-ilmu lain yang
terus mengalami perubahan serta perkembangan. Seiring dengan perkembangan
masyarakat, sebagai sebuah konsep atau ilmu, negara tak pernah terdefinisikan
secara konstan dan pasti. Diantara para ilmuwan, atau bahkan ahli ilmu negara
(ahli tata negara), definisi tentang negara selalu berbeda-beda. Semua
bergantung dari cara pandang masing-masing pemikir (ahli). Ruang dan waktu juga
mempengaruhi pengertian atau terminologi mengenai negara.
Perubahan-perubahan
dalam masyarakat, mempengaruhi cara pandang pemikiran di seputar negara atau
teori-teori mengenai negara, apakah sebagai sebuah entitas politik maupun
kekuasaan. Meskipun demikian, diantara berbagai pendapat dan teori mengenai
negara dari para ahli, tetap ada satu benang merah yang bisa ditarik sebagai
unsur pokok dari sebuah negara. Secara sederhana ialah adanya variabilitas yang
bersifat integratif atau satu-kesatuan utuh, bahwa unsur-unsur negara yang
paling pokok ialah menyangkut dimensi geografis-teritorial, bahwa negara harus
meliputi sebuah wilayah, kemudian dimensi politik-kekuasaan, yakni adanya
pemerintahan, serta dimensi demografis, penduduk atau warga negara.
Dimensi
yuridis, seperti pengakuan (de facto dan de jure) secara internasional,
merupakan faktor keempat yang pada perkembangan sejarah masyarakat dunia
kekinian, hal itu menjadi salah satu unsur yang juga menjadi penting (pokok)
bagi Negara.
Pada
masa kini, terbentuknya negara baru harus memperoleh pengakuan internasional,
secara de fakto maupun de jure.Konsep atau pemikiran mengenai negara yang kita
ketahui sekarang ini, juga sebenarnya sudah dirintis sejak 4.000 tahun lalu.
Dilihat dari usianya, maka sebagai sebuah pemikiran, teori negara berusia
sangat tua, yakni mulai muncul dan menjadi pusat kegelisihan para pemikir
(intelektual) pada masa Yunani Kuno (Ancient Greek).
Sejak masa Yunani Kuno, pemikiran mengenai negara (sebagai konsep (teori) maupun ilmu) terus berkembang. Secara singkat kemudian memasuki masa-masa kekuasaan Romawi Kuno (Ancient Rome). Dan seiring perubahan-perubahan atau proses sejarah dalam masyarakat, negara sebagai teori dan ilmu terus mengalami “pencanggihan” (berkembang disesuaikan dengan situasi dan kondisi) yang melingkupi proses perubahan dalam masyarakat. Lalu memasuki masa klasik atau pra-modern yang di Eropa ditandai dengan abad pertengahan atau abad kegelapan, masa peralihan yang ditandai dengan Rennaisance (masa pencerahan/Aufklarung di awal abad 16), masa modern sampai masa pasca-modern atau masa sekarang.
Sejak masa Yunani Kuno, pemikiran mengenai negara (sebagai konsep (teori) maupun ilmu) terus berkembang. Secara singkat kemudian memasuki masa-masa kekuasaan Romawi Kuno (Ancient Rome). Dan seiring perubahan-perubahan atau proses sejarah dalam masyarakat, negara sebagai teori dan ilmu terus mengalami “pencanggihan” (berkembang disesuaikan dengan situasi dan kondisi) yang melingkupi proses perubahan dalam masyarakat. Lalu memasuki masa klasik atau pra-modern yang di Eropa ditandai dengan abad pertengahan atau abad kegelapan, masa peralihan yang ditandai dengan Rennaisance (masa pencerahan/Aufklarung di awal abad 16), masa modern sampai masa pasca-modern atau masa sekarang.
MASA YUNANI KUNO :
Diskursus atau
wacana ilmiah mengenai negara selalu diwarnai pertanyaan mengenai legitimasi
kekuasaan negara yang besar atas rakyat. Pemikiran mengenai hal ini telah jauh
dirintis para pemikir sejak jaman Yunani kuno (Ancient Greek) atau masa Yunani
Purba dengan sejumlah nama besar seperti Socrates, Plato, Aristoteles dan
sederet pemikir besar lainnya.
Munculnya banyak
pemikiran dan gagasan itu tidak lepas dari tradisi ilmiah yang berkembang pesat
pada masyarakat Yunani Kuno.Berbagai hal menjadi pemikiran, beragam ilmu
dirintis para cerdik pandai sebuah negara kuno di kawasan Laut Tengah, Eropa,
dari mulai ilmu humaniora seperti ilmu sosial, filsafat, politik, ekonomi dan
budaya sampai pada ilmu alam, matematika, biologi bahkan kedokteran.
SOCRATES (470 – 309 SM)
SOCRATES (470 – 309 SM)
Untuk ilmu atau
teori negara sendiri, secara lebih konseptual sebenarnya muncul sejak masa
Plato dan Aristoteles. Hanya saja, sebagai sebuah wacana, hal itu lebih dulu
dirintis oleh pemikir besar yang menjadi maha guru keduanya, yakni Socrates
(470 – 309 SM). Pada masa Socrates, ide-ide mengenai beragam ilmu sudah menjadi
diskursus publik di kalangan masyarakat Yunani.
Sampai datanglah gelombang intelektual dari Asia Kecil yang disebut dengan Kaum Sophis yang membawa aliran dan gaya hidup Sophisme. Orang-orang Sophis ini dikenal sebagai cerdik pandai, hanya saja keilmuannya digunakan untuk hal-hal pragmatis yang kesemuanya bermuara pada kepentingan sesaat pribadi. Orang-orang Sophis ini pengertiannya hampir mirip dengan sebutan K.H. Abdurahman Wahid (Gus Dur) mengenai “Intelektual Tukang” ketika menyindir para intelektual yang berada di sekitar kekuasaan Soeharto, penguasa Orba.
Sampai datanglah gelombang intelektual dari Asia Kecil yang disebut dengan Kaum Sophis yang membawa aliran dan gaya hidup Sophisme. Orang-orang Sophis ini dikenal sebagai cerdik pandai, hanya saja keilmuannya digunakan untuk hal-hal pragmatis yang kesemuanya bermuara pada kepentingan sesaat pribadi. Orang-orang Sophis ini pengertiannya hampir mirip dengan sebutan K.H. Abdurahman Wahid (Gus Dur) mengenai “Intelektual Tukang” ketika menyindir para intelektual yang berada di sekitar kekuasaan Soeharto, penguasa Orba.
Dorongan
kepentingan pribadi yang lebih besar menjadikan pemikiran dan ajaran kaum
Sophis dinilai dekaden (perusak moral). Kaum Sophis cenderung oportunistik dan
menjilat para penguasa sehingga pemikirannya tidak orisinil dan otentik, akan
tetapi lebih pada bagaimana gagasan dan pemikirannya memuaskan para penguasa,
dengan demikian mereka memperoleh kemudahan-kemudahan dalam menjalani praksis
kehidupan kesehariannya.
Diantara
pemikiran kaum Sophis mengenai negara ialah pentingnya negara ditentukan oleh
para penguasa. Konsep keadilan itu subyektif dan hanya merupakan hak para
penguasa. Karenanya, bentuk-bentuk kekuasaan negara apapun bagi penguasa adalah
syah dan merupakan jalan terbaik. “Jalankan kebatilan, meskipun harus bertopeng
keadilan,” demikian pendapat kaum Sophis.
Sebagai seorang
pemikir yang mengagungkan ide-ide kebenaran, Socrates begitu muak dengan
dominasi pemikiran kaum Sophis. Apalagi negara Yunani menjadi kacau balau
setelah kedatangan kaum Sophis. Socrates ini lalu memberanikan menyampaikan
gagasan-gagasannya yang terkesan “revolusioner” atau melawan mainstream
pemikiran ketika itu.
Berbeda dengan kaum Sophis, Socrates menyampaikan pemikirannya yang egaliter. Misalnya soal konsep keadilan, bila kaum Sophis berpandangan bahwa keadilan hanya milik penguasa dan bersifat subyektif, Socrates sebaliknya. Dia mengatakan bahwa keadilan itu bersikap obyektif dan dapat dimiliki setiap warga negara. Negara atau penguasa berkewajiban mewujudkan keadilan bagi semua orang.
Berbeda dengan kaum Sophis, Socrates menyampaikan pemikirannya yang egaliter. Misalnya soal konsep keadilan, bila kaum Sophis berpandangan bahwa keadilan hanya milik penguasa dan bersifat subyektif, Socrates sebaliknya. Dia mengatakan bahwa keadilan itu bersikap obyektif dan dapat dimiliki setiap warga negara. Negara atau penguasa berkewajiban mewujudkan keadilan bagi semua orang.
Socrates berpandangan,
manusia memiliki rasa kebenaran dan keadilan. Hanya saja, rasa keadilan dan
dorongan kebenaran terkubur nafsu duniawi, ketamakan dan nafsu berkuasa. Dia
berpandangan, untuk jadi makmur dan adil, negara harus dikuasai oleh
orang-orang yang didorong perasaan keadilan sejati, keadilan otentik.
Bersama dengan
pendapatnya itu, Socrates menguraikan tentang negara menurut pemikirannya.
Negara bagi Socrates harus diarahkan pada tujuan untuk mewujudkan keadilan yang
harus bisa dinikmati semua orang, bukan hanya milik penguasa yang pada masa
Yunani Kuno sering berganti-ganti.
Pada masa
Socrates, gagasam-gagasan demokrasi mulai tumbuh.
Pemikiran Socrates jelas tidak diterima penguasa. Puncaknya, Socrates diseret ke pengadilan dengan tuduhan mengajarkan ide-ide yang bisa menganggu keamanan, ketertiban dan keselamatan negara. Melalui sebuah pengadilan manipulatif, Socrates akhirnya diminta untuk meminum racun. Tragedi minum racun merupakan bentuk konsistensi Socrates bahwa gagasan dan pemikirannya merupakan kebenaran. Para penguasa, melalui kaum Sophis meminta Socrates untuk menenggak racun ular sebagai bukti bahwa gagasannya itu merupakan kebenaran. Socrates yang meyakini bahwa gagasannya itu benar, memilih mati dengan keyakinannya (membuktikannya dengan berani minum racun), daripada hidup dengan keyakinan yang diragukan.
Pemikiran Socrates jelas tidak diterima penguasa. Puncaknya, Socrates diseret ke pengadilan dengan tuduhan mengajarkan ide-ide yang bisa menganggu keamanan, ketertiban dan keselamatan negara. Melalui sebuah pengadilan manipulatif, Socrates akhirnya diminta untuk meminum racun. Tragedi minum racun merupakan bentuk konsistensi Socrates bahwa gagasan dan pemikirannya merupakan kebenaran. Para penguasa, melalui kaum Sophis meminta Socrates untuk menenggak racun ular sebagai bukti bahwa gagasannya itu merupakan kebenaran. Socrates yang meyakini bahwa gagasannya itu benar, memilih mati dengan keyakinannya (membuktikannya dengan berani minum racun), daripada hidup dengan keyakinan yang diragukan.
Socrates telah
berusaha melakukan perubahan, mengajak orang berbicara dengan mengedepankan
akal. Penghormatan akal diekspresikan Socrates sampai pada hukuman mati atas
dirinya . Socrates melihat hukuman mati hanya salah satu bentuk rasionalitas
yang harus ditanggung. Murid-muridnya sempat mencoba membebaskan Sang Guru
dengan menyogok sipir penjara. Tapi Socrates malah menolak tegas dengan
bertanya…”Mana yang lebih agung, Aku atau Athena ?…”. Dia akhirnya memilih mati
dengan cara yang dianggapnya bersifat rasional.
PLATO (429 – 347 SM).
Gagasan Plato
tentang negara hampir senada dengan Aristoteles. Murid terbaik Socrates itu
menyatakan bahwa negara memerlukan kekuasaan mutlak untuk mendidik warganya
dengan nilai-nilai moral yang rasional.
Hanya saja,
kekuasaan mutlak (absolutisme) negara itu harus diarahkan pada moral-hazard
kekuasaan, yakni melindungi warga negara, menjamin kesetaraan hukum, keadilan
dan kemakmuran ekonomi seluruh warganya.
Plato lahir dari keturunan bangsawan di Athena yang menjadi pusat peradaban Yunani. Latar belakang pendidikannya yang tinggi, dan persentuhannya dengan Socrates menjadikan Plato sebagai pemikir yang gelisah dengan perkembangan masyarakat Yunani ketika itu. Politik kacau balau, para penguasa sewenang-wenang dan korupsi merajalela menggiring Plato pada kecemasan-kecemasan intelektual. Karena merasa muak dengan kondisi sekelilingnya, Plato lalu lebih memusatkan pada dunia pemikiran, mengikuti jejak gurunya, Socrates.
Plato lahir dari keturunan bangsawan di Athena yang menjadi pusat peradaban Yunani. Latar belakang pendidikannya yang tinggi, dan persentuhannya dengan Socrates menjadikan Plato sebagai pemikir yang gelisah dengan perkembangan masyarakat Yunani ketika itu. Politik kacau balau, para penguasa sewenang-wenang dan korupsi merajalela menggiring Plato pada kecemasan-kecemasan intelektual. Karena merasa muak dengan kondisi sekelilingnya, Plato lalu lebih memusatkan pada dunia pemikiran, mengikuti jejak gurunya, Socrates.
Bedanya,
Socrates mengemukakan gagasan dan pemikirannya secara lisan, melalui diskusi
dan pidato-pidato, Plato lebih konseptual. Pemikirannya dituangkan dalam
tulisan dan dibukukan. Diantaranya yang menyangkut negara dan kekuasaan ialah
“Politea” atau “The Republic” yang membahas tentang negara, lalu “Politicon”
atau “The Statemens” membahas tentang negarawan dan “Nomoi” atau “The Law”
berisi tentang peraturan dan undang-undang.
Lewat buku
“Politea”, ajaran Plato tentang negara didasarkan pada aliran idealisme,
filsafatnya juga digolongkan dengan filsafat idealisme. Buku itu mengurai
tentang konsep negara sempurna (ideal state) yang berbentuk ide-ide atau
cita-cita. Dalam “Politea”, Plato membagi dua dunia, yakni dunia ide, cita atau
pikiran yang merupakan “kenyataan sejati” dan dunia alam, bersifat materil atau
dunia fana yang bersifat palsu. Untuk mencapai tatanan negara yang sempurna,
maka dunia alam harus disamakan dengan dunia ide. Yakni negara yang memenuhi
tiga jenis ide, yakni ide tentang kebenaran, keindahan atau seni (estetika) dan
kesusilaan (etika).
Pada jaman yang
sama, gagasan bahwa rakyat dapat menentukan kebijakan negara yang dikenal
dengan nama demokrasi mulai lahir dengan bentuk masih sangat sederhana. Sistem
demokrasi di negara kota (polis atau city state) Yunani Kuno (abad ke-6 sampai
abad ke-3 SM) merupakan demokrasi langsung (direct democracy), yaitu
pemerintahan di mana hak membuat keputusan politik dijalankan secara langsung
oleh seluruh warga negara berdasar prosedur mayoritas. Walaupun pengambilan
keputusan secara kolektif telah mulai diselenggarakan, pelembagaannya belum
dikenali secara utuh, karena pemikiran mengenai teori negara baru muncul.
Plato sebenarnya mengritik demokrasi langsung di negara kota atau Polis. Ini karena praktek demokrasi seperti itu, berpotensi memunculkan praktek kekeliruan dalam memilih penguasa.
Plato sebenarnya mengritik demokrasi langsung di negara kota atau Polis. Ini karena praktek demokrasi seperti itu, berpotensi memunculkan praktek kekeliruan dalam memilih penguasa.
Sebagai
alternatif, Plato berargumen manusia perlu diatur oleh orang yang punya akal
sehat, merekalah yang pantas jadi pemimpin. Pembiaran kepada semua orang untuk
berkuasa melalui proses demokrasi langsung ala Polis tidak benar hingga Plato
menginginkan terbentuknya pemerintahan segelintir orang (oligarki) terdiri dari
orang-orang terpelajar (philospher king). Yang dipikirkan Plato sebetulnya
sebuah oligarki yang bisa melawan demokrasi ala Polis yang setiap saat
berpeluang melahirkan otokrasi atau kekuasaan tergenggam di satu tangan
penguasa.
Plato
berpendapat, untuk mencapai tatanan sempurna, negara harus memenuhi tiga syarat
utama. Pertama, negara harus diperintah para cerdik pandai, pemerintahan harus
ditujukan pada kepentingan umum dan rakyat harus berdaulat atau mencapai
kesusilaan sempurna. Sesuai sifat manusia (kebenaran, keberanian dan
kebutuhan), Plato membagi kelas-kelas dalam negera, para penguasa (the rulers),
para pengawal negara (the guardian) dan pekerja (the artisans).
Sejumlah bentuk
negara pun mengalami pembagian pada pemikiran Plato. Disebutlah bentuk negara
Aristokrasi (kekuasaan cerdik pandai), Oligarki (kekuasaan segelintir orang
tanpa memperhatikan aspek keadilan umum), Timokrasi/Plutokrasi (pemerintahan
segelintir orang kaya), demokrasi (pemerintahan rakyat banyak), tirani
(pemerintahan satu tangan).
Plato juga pernah dipercaya memimpin negara, namun gagal. Lalu dia menulis buku keduanya, “Politicon” (The Statemens) yang membedakan bentuk-bentuk negara. Yakni Monarki (pemerintahan satu tangan oleh raja), Aristokrasi dan Demokrasi.
Plato juga pernah dipercaya memimpin negara, namun gagal. Lalu dia menulis buku keduanya, “Politicon” (The Statemens) yang membedakan bentuk-bentuk negara. Yakni Monarki (pemerintahan satu tangan oleh raja), Aristokrasi dan Demokrasi.
Dari Plato ini,
pemikiran demokrasi berawal. Dalam perkembangannya kemudian memunculkan
berbagai konsep tentang negara dan demokrasi. Hanya saja, seluruh konsep itu
hancur dalam perang Philopo antara Sparta dan Athena. Hancurnya Athena ikut
menenggelamkan Yunani yang pada abad-abad berikutnya munculan kekuasaan Romawi.
Yang menarik, Yunani tidak mengenal individualitas dalam demokrasi. Hak-hak
individual tidak dikenal dalam demokrasi Athena. Masyarakatnya adalah
masyatakat kolektif yang disebut community yang maknanya sama dengan Polis.
Jadi Polis itu gabungan negara yang di dalamnya ada pemerintahan (Condominium),
ada banyak polis termasuk di dalamnya Athena dan Sparta yang kemudian
mengembangkan konsep militerisme.
Dasar konsep
negara (state) dan kewarganegaraan lahir pada masyarakat Yunani kuno dengan
filsuf Plato sebagai pencetus gagasannya dan sebelumnya dirintis Socrates Di
dalam negara Polis (kota), kepentingan negara mengatasi kepentingan individu,
dan tidak ada satu pun yang boleh dirahasiakan.
Pengorganisasian
polis juga menyebabkan setiap warga negara sederajat, tiap warga negara bisa
mengambil bagian dalam urusan negara, namun ada perkecualiannya. Hak
kewarganegaraan itu terbatas atas kelompok minoritas, yakni kaum pendatang,
para budak dan perempuan. Mereka dianggap tidak berhak mengambil bagian dalam
urusan negara. Plato dalam karyanya “The Republic” (Politea) memaparkan, dalam
negara polis, rasa kebersamaan (kolektivitas) harus ditumbuhkan.
Pemikiran Plato
mengenai kedudukan perempuan, belakangan menuai kritik tajam dari para aktifis
gerakan emansipasi perempuan. Kedudukan perempuan yang subordinan dalam
khasanah pemikiran Plato, digugat para aktifis perempuan yang menyuarakan
perlunya kesetaraan gender dalam berbagai bidang kehidupan, tak terkecuali
politik dan kenegaraan.
Di Indonesia, antitesa dari pemikiran Plato di lapangan politik mulai tumbuh dan berkembang semenjak era reformasi bergulir. Bahkan melalui amandemen, posisi perempuan mulai dihargai dengan adanya keterwakilan dengan margin prosentase minimal kedudukan perempuan sebesar 30 persen baik di lembaga kenegaraan seperti DPR maupun kepengurusan di dalam partai-partai politik.
Di Indonesia, antitesa dari pemikiran Plato di lapangan politik mulai tumbuh dan berkembang semenjak era reformasi bergulir. Bahkan melalui amandemen, posisi perempuan mulai dihargai dengan adanya keterwakilan dengan margin prosentase minimal kedudukan perempuan sebesar 30 persen baik di lembaga kenegaraan seperti DPR maupun kepengurusan di dalam partai-partai politik.
ARISTOTELES (382 – 322 SM).
Gagasan negara
Aristoteles tidak jauh berbeda dengan gurunya, Plato. Prinsipnya kekuasaan yang
besar pada negara merupakan hal sepatutnya. Individu akan menjadi liar dan tak
terkendali (anarki) bila negara tidak memiliki kekuasaan besar. Latar belakang
dari pemikiran itu berdasar pada kekhasan individu memiliki kecenderungan keras
untuk bertindak atas dasar kepentingan sendiri.
Oleh karena itu,
agar keadaan masyarakat tidak menjadi kacau, harus ada lembaga kuat untuk
mengarahkan individu-individu dalam masyarakat.
Arah dan tujuan
negara yang dimaksud Aristoteles (dan juga Plato) adalah penegakan moral dalam
masyarakat.
Berdasarkan
pemikiran tersebut, Aristoteles kemudian mengemukakan konsepnya tentang siapa
yang harus menyelenggarakan kekuasaan tersebut. Sampai disini, Aristoteles
mengekor pada gurunya (Plato), menurutnya negara harus dikuasai oleh para
filsuf karena hanya filsuf yang dapat melihat persoalan yang sebenarnya dalam
kehidupan dan membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Dengan demikian
para filsuf memiliki kewenangan mutlak dalam negara atas dasar kapasitas
pribadinya. Bentuk pemerintahan ini dinamakan "Aristokrasi Para
Cendekia".
Aristoteles dilahirkan di kota Stagira, Macedonia, 384 SM. Ayahnya seorang ahli fisika kenamaan.
Aristoteles dilahirkan di kota Stagira, Macedonia, 384 SM. Ayahnya seorang ahli fisika kenamaan.
Pada umur tujuh
belas tahun Aristoteles pergi ke Athena belajar di Akademi Plato. Dia menetap
di sana selama dua puluh tahun hingga tak lama Plato meninggal dunia. Dari
ayahnya, Aristoteles mungkin memperoleh dorongan minat di bidang biologi dan
"pengetahuan praktis". Di bawah asuhan Plato dia menanamkan minat
dalam hal spekulasi filosofis.
Pada tahun 342
SM Aristoteles pulang kembali ke Macedonia, menjadi guru seorang anak raja umur
tiga belas tahun yang kemudian dalam sejarah terkenal dengan Alexander Yang
Agung (Alexander The Great). Aristoteles mendidik Alexander muda dalam beberapa
tahun. Di tahun 335 SM, sesudah Alexander naik tahta kerajaan, Aristoteles
kembali ke Athena dan di situ dibukanya sekolahnya sendiri, Lyceum.
Dia berada di Athena dua belas tahun, satu masa yang berbarengan dengan karier penaklukan militer Alexander.
Dia berada di Athena dua belas tahun, satu masa yang berbarengan dengan karier penaklukan militer Alexander.
Alexander tidak
minta nasehat kepada bekas gurunya, tetapi dia berbaik hati menyediakan dana
buat Aristoteles untuk melakukan penyelidikan-penyelidikan. Mungkin ini
merupakan contoh pertama dalam sejarah seorang ilmuwan menerima jumlah dana
besar dari pemerintah untuk maksud-maksud penyelidikan dan sekaligus merupakan
yang terakhir dalam abad-abad berikutnya.
Walau begitu,
pertaliannya dengan Alexander mengandung pelbagai bahaya. Aristoteles menolak
secara prinsipil cara kediktatoran Alexander dan tatkala si penakluk Alexander
menghukum mati sepupu Aristoteles dengan tuduhan menghianat, Alexander punya
pikiran pula membunuh Aristoteles. Di satu pihak Aristoteles kelewat demokratis
di mata Alexander, dia juga punya hubungan erat dengan Alexander dan dipercaya
oleh orang-orang Athena. Tatkala Alexander mati tahun 323 SM golongan
anti-Macedonia memegang tampuk kekuasaan di Athena dan Aristoteles pun didakwa
kurang ajar kepada dewa. Teringat nasib yang menimpa Socrates 76 tahun
sebelumnya, Aristoteles lari meninggalkan kota sambil berkata dia tidak akan
diberi kesempatan kedua kali kepada orang-orang Athena berbuat dosa terhadap
para filosof. Aristoteles meninggal di pembuangan beberapa bulan kemudian di
tahun 322 SM pada umur enam puluh dua tahun.
Meski sebagai
murid Plato, namun gagasan dan pemikiran Aristoteles memiliki perbedaan
prinsip. Bila Plato dikenal dengan ajaran Idealisme, Aristoteles sebaliknya,
dia melandasi pemikirannya pada aliran Realisme.
Realisme menjadi dasar dari seluruh pemikiran Aristoteles, baik mengenai negara, politik termasuk juga filsafat. Sebagaimana realisme, pemikiran Aristoteles didasarkan pada kenyataan.
Realisme menjadi dasar dari seluruh pemikiran Aristoteles, baik mengenai negara, politik termasuk juga filsafat. Sebagaimana realisme, pemikiran Aristoteles didasarkan pada kenyataan.
Metode berpikirnya
juga berbeda dengan Plato yang “deduktif-idealis”. Aristoteles banyak
menggunakan silogisme berpikir “induktif-empiris”, menarik (abstraksi) hal-hal
khusus untuk dijadikan kaidah-kaidah yang lebih bersifat umum (general). Metode
berpikir seperti itu menjadikan Arostoteles sebagai “Bapak Ilmu Empiris”.
Berbeda dengan
Plato, Aristoteles tidak mengakui adanya dualisme dunia (antara ide dan alam).
Baginya yang ada adalah alam realitas atau dunia kenyataan yang bersifat
materil dan bisa diamati dengan pancaindra. Pemikiran filsafatnya yang realis
juga menjadi nafas dalam penyusunan konsep mengenai negara dan demokrasi,
kendatipun dalam banyak hal tidak jauh berbeda dengan pemikiran Plato.
Sepanjang
hidupnya, Aristoteles menulis banyak buku yang kemudian menjadi warisan amat
berharga dari perkembangan pemikiran dunia. Antaranya yang terkenal ialah
“Nicomechean Ethics” atau “Ethica” dan “Politica”. Dalam “Ethica” Aristoteles
yang juga ahli botani, biologi dan kedokteran, membahas pengertian-pengertian
sejumlah hal abstrak seperti kesusilaan dan keadilan. Buku “Ethica” merupakan
pengantar untuk buku berikutnya dari Aristoteles, yakni “Politica” yang banyak
membahas tentang hal-hal lebih konkrit mengenai negara, bentuk-bentuk negara,
peraturan, undang-undang, hubungan sosial dan banyak lagi.
Pertemuan ide,
gagasan atau pemikiran Aristoteles dengan Plato banyak terdapat dalam
“Politica”. Misalnya soal tujuan negara, menurut Aristoteles, negara adalah
lembaga penyelenggara segala bentuk kepentingan warga dan berusaha supaya warga
negara hidup makmur serta sejahtera. Bandingkan dengan Plato, nyaris tidak ada
perbedaan prinsipil menyangkut konsep dan tujuan negara.
Baik Aristoteles
dan Plato sama-sama setuju kalau negara memiliki kekuasaan mutlak untuk
mengatur prinsip-prinsip umum mengenai keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran
seluruh warga negara. Keduanya sama-sama penganjur gagasan perlunya negara
dipimpin para filosof atau cerdik pandai yang memiliki pemikiran cerdas,
didorong oleh perasaan kebenaran serta berkepribadian paripurna.
Aristoteles
beranggapan, bahwa negara terjadi karena adanya kebutuhan-kebutuhan manusia
(warga negara) sebagai mahluk politik atau “Zoon Politicon”, berbeda secara
fundamental dengan hewan dan tumbuhan. Masyarakat manusia ialah mahluk sosial
yang membutuhkan hubungan atau interaksi-interaksi sosial satu sama lain. Untuk
itu membutuhkan keteraturan dan wadah yang disebut dengan negara. Kedudukan
negara sama pentingnya dengan warga negara, karenanya Aristoteles berpendapat
bila negara terjamin dengan sendirinya kebutuhan warga negara otomatis akan
ikut pula terjamin. Pemerintah harus melindungi kepentingan umum dengan
berlandaskan pada keadilan yang merupakan keseimbangan kepentingan bersama.
Aristoteles juga penganjur universalisme dan kolektivisme.
Selama
mengembangkan pemikirannya mengenai negara, Aristoteles pernah menyelidiki 150
sampai 200 buah kontitusi polis-polis (negara kota) di Yunani. Dari
konstiusi-konstitusi itu, diambil kesimpulan mengenai bentuk-bentuk negara.
Yakni bentuk cita (ideal form), meliputi, Monarki (pemerintahan satu orang atau
kerajaan), Aristokrasi (pemerintahan sekelompok orang) dan Republik katau
Politea (pemerintahan orang banyak untuk tujuan kepentingan umum).
Kemudian bentuk
pemerosotan (corruption form), antaranya Tirani/Despotie (negara yang tujuannya
hanya untuk kepentingan satu orang secara diri sendiri) dan Oligarki/Plutokrasi
(suatu pemerintahan dimana pimpinan negara berada pada segolongan orang kaya,
kekayaan sebagai dasar penghormatan). Bentuk ketiga ialah Demokrasi,
pemerintahan rakyat banyak yang belum tentu menjalankan kepentingan-kepentingan
rakyat banyak.
Aristoteles
mengemukakan, bentuk-bentuk negara itu dalam kenyataannya tidak ada. Yang ada
ialah pemerintahan sistim campuran (mixed form) dan Monarki, Aristokrasi dan
Politea (Republik) dalam kenyataaannya adalah gabungan bentuk cita dan
pemerosotan. Aristoteles berkesimpulan, bentuk negara sebenarnya hanya ada dua,
yakni bentuk campuran (mixed form) dan pemerosotan (corruption form).
Dari sederet
nama filsuf atau pemikir Yunani Kuno, Aristoteles bisa disebut sebagai pemikir
yang memberi kontribusi besar pada perkembangan ilmu politik. Karyanya yang
berjudul “Politica” memiliki peran besar dalam perkembangan dasar-dasar ilmu
politik hingga saat ini. Tak heran jika Alexander Agung terpana dengan
pandangan-pandangan politiknya tentang negara.
“Politica”
mengulas seluk beluk persoalan negara secara mendasar. Berisi banyak pertanyaan
yang sederhana hingga memunculkan jawaban-jawaban yang tidak sederhana, bahkan
menimbulkan efek berdebatan intelektual yang masih relevan dengan kondisi saat
ini. Inilah kelebihan dari Aristoteles yang bisa dibilang memiliki pemikiran
kritis, mendalam, holistik, dan visioner.
Selain
memberikan sumbangan pemikiran pada politik dan Negara, sumbangsih pemikiran
Aristoteles juga pada gagasan mengenai etika dan metafisika, dia juga peletak
dasar ilmu logika.
Pemikirannya
yang realistis adalah antitesa dari Plato yang idealis. Ia lebih mengagumi
penggunaan nalar yang rasional dan terukur.
“Setiap negara adalah kumpulan masyarakat dan setiap masyarakat dibentuk dengan tujuan demi kebaikan, karena manusia bertindak untuk mencapai sesuatu yang mereka anggap baik. Namun, jika seluruh masyarakat bertujuan pada kebaikan, negara atau masyarakat politik memiliki kedudukan tertinggi dari yang lain dan meliputi elemen-elemen penunjang lainnya, serta bertujuan pada kebaikan yang tertinggi”…itulah sepenggal inti ajaran Aristoteles tentang Negara dalam bab pertama “Politica”.
“Setiap negara adalah kumpulan masyarakat dan setiap masyarakat dibentuk dengan tujuan demi kebaikan, karena manusia bertindak untuk mencapai sesuatu yang mereka anggap baik. Namun, jika seluruh masyarakat bertujuan pada kebaikan, negara atau masyarakat politik memiliki kedudukan tertinggi dari yang lain dan meliputi elemen-elemen penunjang lainnya, serta bertujuan pada kebaikan yang tertinggi”…itulah sepenggal inti ajaran Aristoteles tentang Negara dalam bab pertama “Politica”.
Selain Socrates,
Plato dan Aristoteles, Yunani Kuno sebenarnya mengenal banyak pemikir yang
gagasannya tidak kalah cerdas. Antaranya Epicurus (341 – 270 SM), Zeno (300 SM)
dan Polybios (204 – 122 SM). Pemikiran ketiganya juga mewarnai perkembangan
dunia pemikiran pada abad-abad berikutnya. Para pemikir dan intelektual jaman
tengah atau abad pertengahan Eropa banyak terpengaruh oleh para pemikir Yunani
Kuno, tak terkecuali para intelektual Islam pada kekhalifahan Dinasti Abbasiyah
dimana karya-karya pemikir Yunani Kuno banyak diterjemahkan ke dalam bahasa
Arab.
Asimilasi antara
bangsa Arab (Persia) dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami
perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada berabad-abad masa pemerintahan
Bani Abbasiyah 132 H (750 M) s.d. 656 H (1258 M)., bangsa-bangsa non Arab
banyak yang masuk Islam. Asimilasi berlangsung secara efektif dan bernilai
guna. Bangsa-bangsa itu memberi saham tertentu dalam perkembangan ilmu
pengetahuan dalam Islam. Disamping itu, bangsa Persia banyak berjasa dalam
perkembangan ilmu, filsafat dan sastra.
Pengaruh India
terlihat dalam bidang kedokteran, ilmu matematika dan astronomi. Sedangkan
pengaruh Yunani masuk melalui terjemahan-terjemahan dalam banyak bidang ilmu,
terutama filsafat. Pada masa inilah, karya-karya Socrates, Plato, Aristoteles
dan pemikir besar Yunani Kuno lainnya diterjemahkan oleh pemikir Islam.
Gerakan
terjemahan pemikiran Yunani Kuno dalam masa Dinasti Abbasiyah berlangsung dalam
tiga fase. Fase pertama, masa khalifah al-Manshur hingga Harun al-Rasyid. Pada
fase ini yang banyak diterjemahkan karya-karya dalam bidang astronomi dan
manthiq (logika). Fase kedua berlangsung mulai masa khalifah al-Ma'mun hingga
tahun 300 H. Buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat
dan kedokteran. Fase ketiga berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah
adanya pembuatan kertas. Bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas
termasuk juga penulisan kembali gagasan dan pemikiran yang berkembang pada masa
Yunani Kuno.
Transfer
pemikiran Yunani Kuno ke seluruh dunia kemudian dilakukan para pemikir di masa
kejayaan Islam yang kemudian menjadi pijakan pemikir Eropa pada abad
pertengahan, masa renaissance sampai pada pemikir-pemikir di sampai masa modern
seperti sekarang ini. Pemikiran dan gagasan Socrates, Plato dan Aristoteles,
baik tentang filsafat, politik maupun negara, bersifat abadi, tak lekang di
makan jaman. Sampai hari ini.
BAB
III
PENUTUPAN
3.1. Kesimpulan
Transfer
pemikiran Yunani Kuno ke seluruh dunia kemudian dilakukan para pemikir di masa
kejayaan Islam yang kemudian menjadi pijakan pemikir Eropa pada abad
pertengahan, masa renaissance sampai pada pemikir-pemikir di sampai masa modern
seperti sekarang ini. Pemikiran dan gagasan Socrates, Plato dan Aristoteles,
baik tentang filsafat, politik maupun negara, bersifat abadi, tak lekang di
makan jaman. Sampai hari ini.
3.2. Saran
Semoga Makalah ini dapat bemanfaat bagi
kita semua dalam proses pembelajaran kita, dan marilah kita menjadi agen
perubahan yang benar dapat membawa pengaruh baik baik negara dan bangsa, serta
mampu mewujudkan kesejateraan bagi seluruh rakyat Indonesia di masa yang akan
datang.
Amin...
DAFTAR PUSTAKA
http//:Wellcome%20To%20UNIVERSAL%20%20NEGARA%20DAN%20KONSEP%20NEGARA%20MASA%20YUNANI%20KUNO.html
Komentar
Posting Komentar