Teori Kultivasi Dalam Komunikasi Politik
ARTIKEL
TEORI
KULTIVASI DALAM KOMUKASI POLITIK
Artikel
ini dibuat atau disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah “Komunikasi Politik”,
yang diampuh oleh Bapa Dosen Akhirul Aminulloh. S.Sos., M.Si.

DISUSUN
OLEH :
NOVAN
NOVIANTO MARKUS (2016210132)
KELAS
B
PROGRAM
STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS
ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS
TRIBHUWANA TUNGGADEWI
MALANG
2017
A.
Latar Belakang Teori Kultivasi
George Gerbner adalah yang pertama kali menggagas teori kultivasi (cultivation theory). Ide
Gerbner bersamaan rekan-rekannya di Annenberg School of Communication di
Universitas Pansylvania tahun 1969 itu dituangkan dalam sebuah artikel
berjudul the televition World of Violence. Artikel tersebut merupakan tulisan
dalam buku bertajuk Mass Media and Violence yang disunting D. Lange, R. baker
dan S. Ball (eds).
Awalnya, Gerbner melakukan
penelitian tentang “Indikator Budaya” dipertengahan tahun 60-an, untuk
mempelajari pengaruh menonton televisi. Gerbner ingin mengetahui dunia
nyata seperti apa yang dibayangkan, dipersepsikan oleh penonton televisi itu?
Itu juga bias dikatakan bahwa penelitian kultivasi yang dilakukannya lebih
menekankan pada “dampak” (Nurudin, 2004:157). Menurut Wood (2000:245) kata
‘cultivation’ sendiri merujuk pada proses kumulatif di mana televisi menanamkan
suatu keyakinan tentang realitas sosial kepada khalayaknya.
Teori kultivasi muncul dalam
situasi ketika terjadi perdebatan antara kelompok ilmuwan komunikasi yang
meyakini efek sangat kuat media massa (powerfull effects model) dengan kelompok
yang mempercayai keterbatasan efek media (limited effects model), dan juga
perdebatan antara kelompok yang menganggap efek media massa bersifat
tidak langsung atau kumulatif. Teori kultivasi muncul untuk meneguhkan
keyakinan orang, bahwa efek media massa lebih bersifat kumulatif dan lebih
berdampak pada tataran social-budaya ketimbang individual.
Menurut Signorielli dan Morgan
(1990 dalam Griffin, 2004) analisis kultivasi merupakan tahap lanjutan dari
paradigm penelitian tentang efek media, yang sebelumnya dilakukan oleh George
Gerbner yaitu ‘cultural indicator’ yang menyelidiki proses institusional dalam
produksi isi media, image (kesan) isi media, dan hubungan antara terpaan pesan
televisi dengan keyakinan dan perilaku khalayak.
Teori kultivasi ini di awal
perkembangannya lebih memfokuskan kajiannya pada studi telev isi dan audience, khususnya pada tema-tema kekerasan di televisi. Tetapi
dalam perkembangannya, ia juga bias digunakan untuk kajian di luar tema kekerasan.
Misalnya, seorang mahasiswa Amerika di sebuah unversitas pernah mengadakan
pengamatan tentang para pecandu opera sabun (heavy soap opera). Mereka, lebih
memungkinkan melakukan affairs (menyeleweng), bercerai dan menggugurkan
kandungan dari pada mereka yang bukan termasuk kecanduan opera sabun (Dominick,
1990).
Gerbner bersama beberapa
rekannya kemudian melanjutkan penelitian media massa tersebut dengn memfokuskan
pada dampak media massa dalam kehidupan sehari-hari melalui Cultivation
Analysis. Dari analisis tersebut diperoleh berbagai temuan yang menarik dan
orisional yang kemudian banyak mengubah keyakinan orang tentang relasi antara
televisi dan khalayaknya berikut berbagai efek yang menyertainya. Karena
konteks penelitian ini dilakukan dalam kaitan merebaknya acara kekerasan di
televisi dan meningkatnya angka kejahatan di masyarakat, maka temuan penelitian
ini lebih terkait efek kekerasan di media televisi terhadap persepsi
khalayaknya tentang dunia tempat mereka tinggal.
Salah satu temuan terpenting
adalah bahwa penonton televisi dalam kategori berat (heavy viewer)
mengembangkan keyakinan yang berlebihan tentang dunia sebagai tempat yang
berbahaya dan menakutkan. Sementara kekerasan yang mereka saksikan di
televisi menanamkan ketakutan sosial (social paranoia) yang membangkitkan
pandangan bahwa lingkungan mereka tidak aman dan tidak ada orang yang dapat
dipercaya. Gerbner berpendapat bahwa media massa menanamkan sikap dan nilai
tertentu. Media pun kemudian memelihara dan menyebarkan sikap dan nilai
tersebut antar anggota masyarakat, kemudian mengikatnya bersama-sama pula.
Media mempengaruhi penonton dan masing-masing penonton itu meyakini. Jadi, para
pecandu televisi itu akan punya kecenderungan sikap sama satu sama lain.
B.
Teori Kultivasi
Teori Ini berhubungan dengan
pengaruh televisi yang penting, yang oleh para teoretisi disebut kultivasi.
Singkatnya, televisi dipercaya menjadi agen penyamaan dalam budaya. Karena
televisi merupakan pengalaman umum yang besar dari hampir semua orang, televisi
mempunyai pengaruh dalam memberikan cara-ara yang sama dalam memandang dunia.
Televisi adalah sebuah sistem
penceritaan yang tersentralisasi. Sistem ini merupakan bagian terpenting dari
kehidupan sehari-hari kita. Drama, iklan, berita dan program lainnya menghadirkan
sebuah dunia tentang gambaran dan pesan-pesan yang cukup berkaitan ke dalam
setiap rumah. Televisi berkembang dari kecenderungan yang sangat kecil dan
pilihan-pilihan yang biasa diperoleh dari sumber-sumber utama lainnya. Melebihi
pengalaman historis buku dan mobilitas, televisi telah menjadi sumber umum dari
sosialisasi dan informasi sehari-hari terutama dalam bentuk hiburan dari
populasi yang sangat heterogen. Pola berulang dari pesan-pesan dan gambaran
televisi yang diporduksi secara massa membentuk kecenderungan akan lingkungan
simbolis yang umum.
C.
Konsep Dasar Teori Kultivasi
Pada dasarnya, Teori Kultivasi pertama kali di kemukakan oleh George
Gerbner bersama rekan-rekannya di Amenberg School of Communication di
Pennsylvania pada tahun 1969, dalam sebuah artikel yang berjudul “the
television of violence” yang berisikan bagaimana media massa khususnya televisi
menampilkan adegan-adegan kekerasan di dalamnya. Teori kultivasi ini muncul
dalam situasi pada saat terjadi perdebatan antara kelompok ilmuwan komunikasi
yang meyakini bahwa efek sangat kuat dari media massa.
Teori Kultivasi muncul untuk meyakinkan orang bahwa efek media massa lebih
bersifat kumulatif dan lebih berdampak pada tataran social budaya ketimbang
individual. Signorielli dan Morgan pada tahun 1990 mengemukakan bahwa analisis
kultivasi merupakan tahapan lanjutan dari penelitian efek media yang sebelumnya
dilakukan Gerbner yaitu “Cultural Indicator” yang menyelidiki Proses
institusional dalam produksi isi media, image atau kesan isi media serta
hubungan antara terpaan pesan televisi dengan keyakinan dan perilaku khalayak.
Dalam penelitian lanjutan yang dilakukan oleh Gerbner diketahui bahwa
penonton Televisi dalam kategori berat mengembangkan keyakinan yang berlebihan
mengenai dunia sebagai tempat yang berbahaya dan menakutkan. Sedangkan
kekerasan yang mereka saksikan di Televisi menambah ketakutan sosial yang
membangkitkan pandangan bahwa lingkungan mereka tidak aman dan tidak ada orang
yang dapat dipercaya.
D.
Kajian Teori Kultivasi
Teori Kultivasi menganalisis tayangan televisi telah menjadi teman
keseharian oleh kebanyakan orang dalam keluarga di amerika serikat, karena
Teori ini memprediksikan dan menjelaskan pembentukan persepsi, pemahaman, dan
keyakinan jangka panjang tentang dunia ini sebagai hasil dari mengkonsumsi isi
media. Gerbner (1999) mengemukakan bahwa “sebagian besar yang kita ketahui,
atau yang kita piker kita ketahui, adalah tidak pernah kita alami sendiri”.
Banyak hal yang kita ketahui itu karena yang kita lihat dan kita dengar dari
media. Teori Kultivasi terus mengalami evolisi bertahun-tahun lamanya, melalui
serangkaian metode dan teori yang dilakukan oleh Gerbner dan rekan-rekannya.
E.
Asumsi Dasar Teori Kultivasi
Terdapat tiga asumsi dasar teori kultivasi yang dikemukakan oleh Gerbner
yaitu : 1). Secara Esensial dan Fundamental Televisi berbeda dengan media yang
lain. Asumsi ini menunjukkan bahwa spesifikasi keunikan dari Televisi yaitu
kelebihan Televisi menjadikannya istimewa seperti televise tidak memerlukan
sederetan huruf-huruf seperti halnya media cetak lainnya, televisi bersifat
audio dan visual yang dapat dilihat gambar dan suaranya, Televisi tidak
memerlukan Mobilitas atau memutar tayangan yang disenangi dan karena
aksesibilitas dan avaibilitasnya untuk setiap orang membuat Televisi menjadi pusat
kebudayaan masyarakat kita.
2). Televisi Membentuk Cara kita berfikir dan berhubungan. Asumsi ini masih
berkaitan dengan pengaruh tayangan Televisi, pada dasarnya Televisi tidak
membujuk kita untuk benar-benar meyakini apa yang kita lihat di Televisi,
berdasarkan asumsi ini, Teori Kultivasi mensuplay alternative berfikir tentang tayangan
kekerasan di Televisi.
3). Televisi Hanya Memberii Sedikit Dampak. Asumsi yang terakhir ini
mungkin agak berbeda dengan asumsi dasar Teori Kultivasi, namun Gerbner
memberiikan analogi ice age untuk memberi jarak antara teori kultivasi dan
asumsi bahwa Televisi hanya memberikan sedikit efek atau dampak. Dalam analogi
ice age menganggap bahwa Televisi tidak harus mempunyai dampak tunggal saja
akan tetapi mempengaruhi penontonnya melalui dampak kecil yang tetap konstan.
F.
Penemu Teori Kultivasi
(Cultivation Theory)
George Gerbner, dilahirkan di
Hungary, kemudian pindah ke Amerika Serikat tahun 1939, menerima B.A nya. dari Universitas
California dan nya M.S. dan Ph.D. dari Universitas California Selatan.
G.
Contoh Masalah
Contoh
masalahnya adalah , misalakan :
Disebuah acara televisi terus - menerus menayangkan tentang iklan Partai
Politik, dimana didalam iklan ini ada salah satu vigur yang di unggulkan. Nah
disini media bertujuan untuk menanamkan keunggulan atau kebaikan – kebaikan
dari vigur tersebut kepada masyarakat. Agar ketika nanti pada saat Pemilu atau
pun pilkada. Masyarakat sudah tidak asing laggi dengan vigur tersebut dan akan
menjatuhkan pilihan kepada vigur tersebut.
Daftar
Pustaka :
Santoso, Edi & Setiansah, Mite. 2010.Teori Komunikasi. Yogyakarta:
Graha Ilmu.
West,
Richard & Turner H. Lynn. 2008. Pengantar Teori Komunikasi Analisis dan
Aplikasi. Jakarta. Salemba Humanika
Komentar
Posting Komentar